SERANG, BI – Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP) mempertanyakan kepemilikan saham sebesar 49 persen di Bank Banten. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif ALIPP, Uday Syuhada, saat Diskusi Publik menyambut New Normal dengan tema “Nasib Bank Banten: Dibawa ke Mana Uang Rakyat?” di Cafe Umah Kite, Taktakan, Kota Serang, Minggu (14/6/2020).

Dikatakan Uday Syuhada, selama ini Bank Banten dan PT Banten Global Development tidak pernah transparan mengungkapkan siapa pemilik sebagian saham di bank daerah itu. Pemerintah Provinsi Banten sendiri memiliki saham 51 persen.

“Sebanyak 49 saham goib ini punya siapa? Jangan-jangan mereka adalah mafia,” ujar Uday, Minggu (14/6/2020).

Uday menyatakan, kepemilikan saham itu perlu diungkap agar publik tahu. Pasalnya, selama berdiri sampai saat ini Bank Banten selalu rugi dan tidak pernah untung satu rupiah pun. Alasan manajemen bahwa ASN yang menyebabkan kerugian Bank Banten menurutnya tidak masuk awal. Sejak awal Uday mengaku sudah mencium aroma busuk di BGD dan lingkungan Bank Banten.

“Konyol kalau disebut ASN penyebab kredit macet. Saya curiga pemilik saham siluman ini yang kreditnya macet,” katanya.

Karena itu menurutnya, yang harus dilakukan Gubernur Banten adalah membongkar semua hal yang terjadi di BGD dan Bank Banten selama ini. Termasuk mengganti jajaran direksi yang tidak profesional dan tidak mampu menyehatkan Bank Banten. Sebab, percuma bila semua tidak diungkap kepada publik dan menyuntikkan dana bila hanya mengulur kematian Bank Banten.

“Ini uang rakyat yang harus diselamatkan,” kata Uday.
 
Di tempat sama, Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo mengatakan, masalah yang dihadapi bank daerah biasanya sama. Secara umum, masalah yang dihadapi adalah lemahnya pengendalian internal, pengawasan yang tidak jelas, dan yang paling penting adalah urgensi mengapa perlu ada bank daerah. Bila bank daerah didirikan hanya untuk mengelola keuangan daerah, maka bank swasta semestinya menjadi pilihan terbaik karena memiliki modal dan infrastruktur yang sangat besar sehingga keberadaan uang rakyat aman.

Ia kemudian menyebutkan sejumlah perusahaan besar yang nilai investasinya sangat besar seperti Gojek, Apple, dan Samsung yang tidak memiliki bank sendiri dan lebih memiliki mempercayakan pengelolaan keuangan perusahaan di bank swasta. Apalagi, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2019 ada potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp440 miliar di 10 bank daerah. Sayang BPK tidak menyebutkan bank daerah yang dimaksud.

“Masalah serius bank daerah adalah tidak pernah ada bank daerah yang besar dan bisa bersaing dengan bank swasta,” ujarnya.

Dijelaskan Adnan, Pengawasan pada bank daerah tidak pernah jelas. Kepala daerah biasanya yang mengawasi, menanamkan modal, bahkan mengangkat direksi. Selain itu, keputusan mengganti direksi dan komisaris juga biasanya merupakan keputusan bias kepentibgan dan kolutif. Pada pemberian kredit sikdikasi atau kredit individu juga biasanya tidak pernah jelas ketentuannya dan lebih kental nuansa nepotisme.

“Bank swasta menggunakan pasar murni sehingga ketika rugi langsung tutup. Kalau bank daerah ketika rugi pemilik saham mayoritas tanpa alasan jelas bisa menyuntikkan modal baru yang sebenarnya tidak pernah memberikan keuntungan. Lalu bank daerah kita pelihara untuk apa?” katanya seraya menambahkan bahwa sudah saatnya pemerintah daerah berpikir apakah pemda perlu mempunyai bank daerah sendiri di saat bank swasta sudah sangat memadai dalam memberikan pelayanan.

Sementara itu, Nailul Huda, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), melihat dari beberapa tahun biaya operasional dan pendapatan operasional (BOPO) Bank Banten sangat tidak sehat karena biaya operasional lebih besar dibandingkan dengan pendapatan operasional. Ia misalnya mencatat pernah terjadi biaya operasional lebih besar 200 persen dibanding pendapatan. Pada tahun 2019 juga biaya operasional lebih besar 130 persen dibandingkan pendapatan.

“Ketika dibeli oleh Pemprov Banten saat itu Bank Pundi juga sedang tidak sehat,” kata Huda.

Akademisi Untirta Ikhsan Ahmad yang mengajukan gugatan ke pengadilan terkait Bank Banten mengatakan, hanya melalui jalur hukum kisruh yang ada di Bank Banten bisa terungkap. Ia berharap gugatan itu bisa diteruskan ke ranah pidana.

“Semuanya harus diuji pada ranah hukum,” katanya. (MT/Red)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini