JAKARTA, BI – Warga Banten bersama aktivis Walhi Jakarta, Trend Asia dan Pena Masyarakat menggelar aksi penolakan mega proyek PLTU Jawa 9 dan 10 di depan Kedubes Republik Korea Selatan (Korsel) di Jakarta. Para pengunjuk rasa menyerahkan surat terbuka dari masyarakat Indonesia kepada Presiden Korsel agar mengambil keputusan pembatalan pendanaan mega proyek PLTU Jawa 9 dan 10.
Dalam aksi tersebut, mereka juga membentangkan spanduk bertuliskan ‘Is This The Gree(n)d New Deal Mr. President Moon Jae-In? Commit to the Clean! – Stop Funding Dirty Energy Project Java 9 & 10’. Aksi digelar tepat satu hari menjelang dewan KEPCO, perusahaan listrik Korea Selatan, akan menggelar rapat terkait keputusan pendanaan proyek energi kotor ini.
Meskipun di tengah pandemi, para pengunjuk rasa mengaku tidak surut untuk menuntut pembatalan pendanaan mega proyek itu. Karena menurut mereka, pembatalan tersebut sangat penting dilakukan mengingat betapa berbahayanya proyek tersebut bagi keselamatan dan kesehatan warga.
Kendati demikian, para pengunjuk rasa tetap memperhatikan protokol kesejatan Covid-19 dengan menggunakan alat pelindung diri seperti face shield, sarung tangan dan masker, serta memperhatikan jarak antara satu dengan lainnya.
Peneliti dan Pengampanye Trend Asia, Andri Prasetiyo, mengatakan bahwa rapat dewan KEPCO dengan agenda pengambilan keputusan pendanaan proyek PLTU Jawa 9 dan 10 digelar di tengah gencarnya promosi wacana Green New Deal Korsel.
Salah satu komitmen dalam kesepakatan baru itu adalah akan dihentikannya pendanaan bagi proyek industri batubara. Sehingga, mereka menagih komitmen itu kepada Presiden Korsel melalui kedubesnya.
“Kami menagih perwujudan komitmen Green New Deal Presiden Moon Jae-In dengan menarik diri dari keterlibatan Korea Selatan dalam investasi energi kotor di PLTU Jawa 9 dan 10,” ujar Andri Prasetiyo, Kamis (25/6/2020).
Dalam laporan Trend Asia, Walhi Jakarta dan Pena Masyarakat yang berjudul ‘Racun Debu di Kampung Jawara’ dan telah diluncurkan pada Selasa kemarin, disebutkan bahwa proyek PLTU Jawa 9 dan 10 tidak layak dan sangat berisiko baik dari sisi ekonomi maupun sosial lingkungan.
“Sementara itu, pemerintah mengakui adanya kelebihan kapasitas listrik di jaringan Jawa-Bali dan pada saat pandemi ini, selisih kelebihan kapasitasnya akan semakin meningkat dengan turunnya permintaan pasokan listrik,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi, menegaskan bahwa saat ini keuangan PLN juga dalam kondisi merugi dan masih bergantung pada suntikan dana pemerintah Indonesia. Sehingga proyek PLTU Jawa 9 dan 10 ini terkesan dipaksakan.
“Dari sisi bisnis, proyek ini jelas tak menguntungkan bagi investor dan mitranya di Indonesia yakni PLN. Belum lagi, kehadiran PLTU Jawa 9 dan 10 ini justru akan menambah beban kesehatan bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia menuntut kepada Pemerintah Korsel agar dapat menghentikan rencana pembiayaan mega proyek PLTU Jawa 9 dan 10. Hal itu supaya kemanusiaan dan masa depan lingkungan hidup dapat diselamatkan.
“Jika ini tetap didanai, akan meningkatkan beban lingkungan dan memperburuk kesehatan masyarakat Banten dan sekitarnya karena tambahan polusi dari proyek ini,” ujarnya.
Senada disampaikan oleh Ketua Pena Masyarakat Banten, Mad Haer. Ia meminta kepada Pemerintah Korea Selatan untuk memikirkan ulang rencana pendanaan proyek. Ia tak ingin asap-asap PLTU itu menambah kerentanan warga terutama di saat menghadapi krisis Covid-19 yang menyerang organ pernafasan.
“Polusi udara dari belasan pembangkit listrik batubara di Banten telah menyebabkan kematian dini. Apalagi angka penderita infeksi pernafasan akut (ISPA) dan masyarakat yang mengeluhkan debu dan abu pembakaran PLTU batubara sudah mengkhawatirkan. Proyek ini hanya akan memperparah penderitaan yang dialami kelompok warga usia rentan, terutama balita,” tuturnya.
Ia mengatakan, debu hasil pembakaran dari batu bara yang beterbangan karena terkena angin, dipastikan masuk ke pemukiman penduduk. Hal ini yang kerap kali dikeluhkan oleh masyarakat sekitar yang terganggu pernafasannya.
Selain itu menurutnya, tempat penimbunan limbah B3 yang akan lebih berdampak lagi terhadap kesehatan penduduk, menurunya kualitas lingkungan hidup, kenyamanan warga dan bahkan ekonomi warga yang diakuinya kian hari dapat terus merosot pada sektor pertanian.
“Belum lagi ruang hidup nelayan yang makin sempit karena sudah tidak ada lagi ruang bersandar kapal untuk nelayan. Apa lagi kualitas ikan, bisa juga berdampak terhadap hasil tangkap nelayan,” tandas pria yang akrab dipanggil Aeng ini. (Hub/Red)