Oleh : Ahmad Nuri
Ketua PW GP Ansor Banten

Penulis minggu kemarin baru saja menulis tentang “Musuh Demokrasi antara politik Identitas dan Politik Uang”, kali ini penulis terpanggil kembali untuk membuat perspektif baru tentang politik cinta sebagai antitesa terhadap politik Identitas yang saat ini menjadi trend plus musuh bagi demokrasi dan bangsa ini.

Mungkin sedikit aneh dan absurd ketika penulis membuat antitesa dengan mengunakan terminologi politik cinta sebagi lawan politik indentitas yang cendrung membelah atau mempolarisasi sementara politik cinta yang diharapkan dapat menyatukan perbedaan dengan satu tujuan.

Politik Cinta di ekspektasikan dapat menjadi “analgesik” bagi penyakit yang terus menggerogoti proses demokrasi dan memecah belah bangsa oleh politik identitas. Mungkin tidaklah cepat bisa menyembuhkan penyakit menimpa demokrasi tapi paling tidak bisa meredam rasa nyeri yang dialami bangsa ini akibat politik identitas.

Jika di maknai sederhana bahwa Politik Cinta sejenis cara indah dalam mencapai tujuan atau kekuaasaan dengan mengunakan pendekatan afeksi untuk setiap proses kalkulasi politik dengan tidak menghilangkan kognisi politik atau rasionalitas politik dalam setiap langkah dan gerakan mencapai tujuan politik masing-masing dalam berkontestaasi di jalur demokrasi.

Sejatinya penulis ingin meletakan bahwa Hakekat Politik cinta adalah meredam kebencian yang timbul dari perselisihan dan perbedaan. Politik cinta juga bisa menjadi sesuatu nilai pemikat, perekat, bahkan sekaligus pengikat kembali dari ragam perbedaan yang muncul akibat proses demokrasi yang di cidrai oleh politik identitas

Secara esensi politik cinta bisa mengungkap hati kecil para pelaku politik kadung mengunakan politik identitas yang tak pernah puas berhasrat penuh nafsu seperti Casanova dan Don Juan saat melampiaskan kepentingan naluri dan birahi politiknya.

Bahwa sesungguhnya politik bukan hanya soal nafsu yang liar dan bebas tanpa “akad” dalam mencapai kekuasaan atau kelimaknya Sang Casanova ketiaka berpadu hasrat. tapi soal akibat yang timbul pada keseluruhan masayarakat yang dapat kehilangan kemampuan untuk mencintai karena sudah terbiasa saling membenci atau sekedar melampiaskan nafsu birahi politik untuk kekuasaan.

Termasuk nafsu birahi menggunakan agama untuk kepentingan politik kekuasaan semata. Hal ini lah yang menjadikan agama rusak tak memiliki nilai keagungannya dan menikam harkat kemanusiaan karena di jadikan alat bukan dijadikan inspirasi nilai bagi setiap langkah kepentingan politik yang produktif bagi kemajuan agama itu sendiri atau bangsa dan negara.

Dengan demikian Politik Cinta bisa menjadi embun membasuh kerontanya relasi kemanusiaan yang dulu tulus dirusak dengan politik identitas cendrung bulus menggunakan ayat-ayat agama demi meraih kekuasaan, hal ini dimulai pada pemilu 2019 yang diprediksikan pada pemilu 2024 masih akan terjadi jika semua entitas tidak sama-sama mereduksi dengan ragam cara agar polarisasi tidak terjadi.

Maka sangat relevan jalan politik cinta disuguhkan pada entitas politik yang masih mencintai bangsa, menggunakan agama sebagai inspirasi bukan sekedar aspirasi”. meminjam istilah Gus Yaqut, agar tetap berdiri tegak sebagi Indonesia. Politik cinta bukanlah sesuatu yang bergerak sendiri tanpa ada piranti yang menyulut tumbuhnya rasa mencintai pada bumi pertiwi dengan kebinekaan dan kemajemukannya yang ada.

Politik cinta adalah mengkeristalnya rasa rindu plus ekspektasi kolektif yang masih percaya dengan mekanisme demokrasi untuk menyelesaikan silang sengketa pendapat, gagasan, ide dan program dalam mengelola basis kultural menjadi keuntungan elektoral dalam mencapai kekuasaan dengan indah tanpa saling mencidrai tapi tetap saling mencintai dengan realitas perbedaan sebagai sunatullah.

Bersemayamnya politik cinta dalam sanubari bangsa kemudian digerakan menjadi bagian gairah eksotis konstruktif dari sebuah ode politik akan menjadi lebih indah dan romantis dengan tetap saling menjaga perbedaan prinsip perjuangan politik bahkan perbedaan ideologi tapi saat proses sudah memberi arti kemenangan perbedaan imenjadi lebur bersama politik cinta yang menerima setia kekalahan dan kemenangan.

Diaku memang bahwa Politik Cinta itu bisa menjadi utopis tapi juga bisa realistis karena politik cinta sebuah peta jalan-jalan misterius dan rahasia bagi hati manusia yang kadang sulit di diteksi satu sama lain dalam setiap mengkomoetisikan kepentingan pilitik, tapi menjadi realistis bahwa setia hati manusia merindukan kedamaian, ketenangan dan rasa saling mengerti saat menang atau kalah di kompetisi.

Politik cinta inilah sesungguhnya menggabungkan getaran rasa kolektif dari misteri-mesteri setiap hati manusia tersebut menjadi jalan yang dapat menjadi kekuatan baru untuk “membunuh” kebencian politik personal manusia atau golongan akibat sulutan politik identitas.

Oleh karena itu menyulut Politik Cinta sama dengan mensyukuri anugrah ilahiah dari hamba-hambanya yang terus menyemai cinta untuk menuai kemenangan bersama bangsa ini, tanpa harus terkotak kembali akibat kejamnya politik identitas.
Wallahu A’lam….,

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini