SERANG, BANTENINTENS.CO.ID – Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten, menilai tingginya kasus kekerasan anak di Kota Serang yang mencapai hingga 50 kasus lantaran Pemerintah Kota (Pemkot) Serang kurang aktif dalam melaksanakan sejumlah program perlindungan anak, khususnya di tingkat bawah.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten Hendry Gunawan mengatakan, KPA Provinsi Banten menilai jika program Perlindungan Terpadu Anak Berbasis Masyarakat (PTABM) di Kota Serang masih belum maksimal. Sehingga, ketika adanya kejadian atau kasus kekerasan pada anak mau pun perempuan, warga merasa bingung untuk berbuat sesuatu.
“Seharusnya PTABM itu harus berjalan, karena banyak unsur pemerintah daerah di dalamnya yang memiliki tugas mendeteksi. Bisa juga dengan sosialisasi hingga pendampingan,” katanya, Rabu (13/9/2023).
Dia juga menyebutkan, apakah angka tersebut benar-benar riil fakta di lapangan, atau hanya segelintir yang telah melaporkan. Sebab, biasanya kasus-kasus seperti ini layaknya fenomena gunung es yang hanya terdeteksi secara pelaporan tanpa adanya tindakan sebagai upaya pendeteksi kasus kekerasan itu sendiri.
“Apakah 50 ini angka riil, jangan-jangan ini menjadi fenomena gunung es. Yang lapor tercatat 50, tapi yang tidak lapor lebih banyak dari itu. Maka, untuk mendeteksi itu mestinya program yang sudah dicanangkan bisa dijalankan. Sejauh ini, kami lihat belum dimaksimalkan untuk kasus kekerasan pada anak oleh pemerintah kota,” ujarnya.
Mirisnya, kata dia, KPA Provinsi Banten cukup banyak menemukan korban kasus kekerasan seksual dan kekerasan secara fisik dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Hal itu pun menunjukkan jika edukasi dan sosialisasi serta program-program yang ada saat ini tidak berjalan dengan semestinya, karena seharusnya hal semacam itu dapat diantisipasi dan diminimalisir.
“Kami temukan di Kota Serang, jika pelaku merupakan pamannya, kakaknya, bahkan orang tua kandungnya. Akhirnya kami melihat program yang ada di Kota Serang tidak berjalan maksimal. Apalagi, ada 50 kasus seperti ini,” tuturnya.
Diakui dia, berdasarkan pelaporan kasus kekerasan yang terjadi, biasanya pelaku merupakan orang terdekat korban. Bahkan, biasanya pelaku akan sulit terdeteksi ketika terjadi di internal lingkup keluarga, karena masyarakat terutama tetangga tidak dapat melakukan pelaporan ketika adanya dugaan kekerasan.
“Beberapa yang kami temukan, justru masyarakat menilai jika itu urusan keluarganya. Padahal, dalam undang-undang perlindungan anak pasal 72 disebutkan, jika masyarakat bisa melakukan upaya perlindungan atau pun pendampingan pada anak,” ucapnya.
Maka, dari itu, upaya perlindungan anak tersebut perlu dikuatkan dari sisi masyarakat, dengan cara edukasi yang masif di tiap tingkatan dari bawah hingga atas. Sebab, selama ini masyarakat hanya akan bereaktif ketika kasus atau kejadian telah terjadi dan masuk dalam pelaporan.
“Selama ini kami melihat, ketika ada kejadian baru mereka reaktif. Harus ada upaya prefentif dari masyarakat, bukan lagi reaktif ketika adanya kasus atau kejadian terjadi,” ujarnya.
Kemudian, edukasi seksual juga penting untuk dilakukan kepada anak-anak mulai usia dini. Misalnya, memberi pemahaman terhadap organ-organ vital yang harus dilindungi dan tidak boleh dilihat, apalagi dipegang oleh orang lain. Selain itu, kasus kekerasan anak yang dilakukan oleh teman sebayanya, menurut dia, dipicu juga karena kurangnya fasilitas berkegiatan bagi para anak.
“Karena tidak ada fasilitas alternatif untuk mereka berkegiatan. Akhirnya mereka teracuni dengan video-video pornografi dan sebagainya, termasuk kekerasan, yang akhirnya menambah jumlah itu,” katanya.
Dikatakan dia, yang mendasari terjadinya kekerasan seksual salah satunya karena gap generation atau kesenjangan generasi. Sehingga, pemahaman antara orang tua dan anak-anak masa kini berbeda, misalnya informasi yang anak terima dari gawai berbeda dengan pola asuh orang tua.
“Jadi, pola asuh puluhan tahun yang diterima orang tua diterapkan kepada anaknya saat ini, dan itu berbeda masa. Tentu, ini mengakibatkan adanya gap generation. Sehingga dampaknya terjadi kekerasan fisik,” tandasnya. (Red)