SERANG, 27 Juni 2025 — FKIP Untirta mungkin terlihat megah di siang hari. Namun saat malam datang, ia sepi, dingin, dan seperti kota mati. Bukan karena tak ada mahasiswa yang ingin belajar atau berdiskusi, tetapi karena sebuah kebijakan bernama jam malam — yang membatasi segala aktivitas kampus hanya sampai pukul 20.00 WIB.
Namun malam itu, tepat pukul 19.30, ruang itu tidak tunduk pada kesepian. Sebuah diskusi bertema Sosiologi Underground: Imajinasi Kosmologi Sosial dan Musik Perspektif Adorno hadir sebagai bentuk pembangkangan ilmiah terhadap sunyi yang dipaksakan.
Diskusi ini difasilitasi oleh mahasiswa Pendidikan Sosiologi, dengan Khansa sebagai pemantik teori sosiologi, Naufal sebagai moderator, dan Arie Solois, musisi underground yang membawakan lagu dari albumnya Kosmologi Sirkus.
Dongeng Adorno: Ketika Musik Bercerita tentang Kuasa
Khansa, sang pemantik, membuka sesi dengan tidak biasa — bukan melalui kutipan akademik, melainkan sebuah dongeng. “Di Negeri Irama, semua lagu wajib sama. Setiap nada harus patuh. Tapi ada seorang anak, Rima, yang bertanya: ‘Mengapa semua lagu terdengar seperti mantra penjinak?’” Melalui dongeng itu, Khansa menyisipkan kritik Theodor Adorno, seorang filsuf Frankfurt School, terhadap musik populer.
Musik, menurut Adorno, telah direduksi menjadi komoditas. Ia tidak lagi menumbuhkan kesadaran, tetapi justru menidurkannya. Musik menjadi “pabrik suara” yang membentuk manusia untuk diam, mengikuti, dan lupa bertanya.
Namun musik underground — musik yang tumbuh dari keresahan, dari lorong-lorong sempit masyarakat urban — bisa menjadi lawan dari ketertundukan itu. Musik yang retak, yang liar, justru menjadi ruang subversi dan ruang imajinasi sosial.
Arie Solois: “Kami Nyanyi, Karena Dunia Membisu”
Arie Solois tidak datang membawa pencitraan. Ia membawa keresahan. Lagu Kosmologi Sirkus yang ia nyanyikan bukan sekadar karya, tapi bentuk pembacaan atas dunia yang absurd. “Dunia hari ini seperti sirkus. Tapi bukan lucu.
Melainkan penuh tipu daya,” katanya. Arie menceritakan bagaimana menjadi musisi hari ini bukan hanya soal idealisme, tetapi soal bertahan dari invasi algoritma. Musik yang punya makna sering kali kalah oleh musik yang “ramah reels”. “Kami mencipta lagu bukan untuk jadi viral. Tapi untuk menjangkau mereka yang gelisah. Kami tidak butuh sorotan, kami butuh ruang.”
Jam Malam: Ketika Kampus Menolak Hidup di Malam Hari
Di sinilah diskusi berubah dari intelektual menjadi advokatif. Para peserta menyoroti kebijakan jam malam FKIP UNTIRTA sebagai bentuk penghambat aktivitas intelektual dan budaya mahasiswa.
“Setiap kampus seharusnya menjadi ruang belajar tanpa jam. Tapi di sini, setelah pukul delapan malam, kami seperti diusir secara diam-diam oleh sistem,” ujar Khansa.
Naufal menambahkan bahwa dalam sejarahnya, ruang publik kampus adalah tempat di mana ide-ide besar lahir — dari diskusi kecil, dari debat panjang, dari pertunjukan musik yang penuh makna. Membatasi ruang itu sama saja dengan membatasi daya hidup kampus itu sendiri.
“Kampus kita tidak kekurangan ruangan. Yang kurang adalah keberanian untuk membiarkannya hidup di malam hari,” tambah Naufal sebagai moderator.
Kampus Mati Jika Hanya Jadi Gedung, Bukan Ruang
Diskusi malam itu menjadi pembuktian bahwa suara mahasiswa tak harus berteriak untuk menuntut perubahan. Ia bisa datang dari petikan gitar, dari dongeng, dari tanya jawab yang tajam — dan dari penolakan halus terhadap sistem yang menidurkan kesadaran.
FKIP Untirta butuh lebih banyak malam seperti ini. Malam yang tidak hanya diisi dengan lampu padam dan pintu dikunci, tapi dengan gagasan, suara, dan kehidupan. Karena jika kampus hanya hidup di siang hari, maka ia bukan ruang ilmu, melainkan sekadar gedung administrasi.
Disusun oleh: Tim Advokasi Sosiologi Pendidikan FKIP UNTIRTA Didokumentasikan oleh Panitia Sosiologi Underground.









