SERANG, – Keberadaan Manusia Gerobak di Kota Serang, saat ini jumlahnya semakin banyak. Bahkan, ditengah Pandemi Covid-19 ini mereka membawa serta anak-anaknya yang masih kecil.
Salah satunya Titin dan anaknya Putri (3), mereka merupakan salah satu dari sekian “Manusia Gerobak” asal pribumi yang menghiasi wajah Ibukota Provinsi Banten. Tiap hari membanting tulangnya untuk mencari nafkah dari hasil memulung. Ibarat pepatah lama, kisah Titin ini bagaikan “Ayam yang mati di lumbung padi” atau tersingkir di negeri sendiri.
Warga Lingkungan Domba, Kelurahan Lopang, Kecamatan Serang, Kota Serang ini sudah satu tahun setengah melakoni profesi sebagai pemulung. Profesi itu terpaksa ia harus lakoni lantaran demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Ia menyadari, keluar rumah bersama putrinya dalam situasi kondisi tanggap darurat Covid-19 atau virus corona saat ini adalah pilihan yang tidak baik. Namun bertahan di rumah pun baginya bukan solusi yang tepat. Terlebih Titin juga harus menjadi tulang punggung bagi anak semata wayangnya bernama Putri yang masih berusia tiga tahun.
“Saya udah gak punya suami, pak” ujar Titin, ditemui di depan Iwak Banten, Jalan Jenderal Sudirman, Ciceri, Kota Serang, Senin (27/4/2020).
Meskipun saat ini Kota Serang tengah dilanda pendemi virus corona, namun ia terpaksa membawa serta anak semata wayangnya, Putri, setiap hari memulung barang bekas keliling Kota Serang.
“Kalau ditinggal di rumah nanti tidak ada yang ngurus. Saya tinggal di rumah bibi. Bibi dan mamang saya juga kuli,” ucap dia.
Ia menyebutkan, barang bekas yang ia dapatkan memulung tidak setiap hari dijual. Minimalnya lima hari baru ia bisa menjual barang bekas hasil mulungnya itu. Jika selama lima hari jumlah barang bekasnya banyak, ia bisa mendapatkan Rp 200.000. Namun sejak wabah korona datang, harga-harga barang bekas pun ikut terdampak.
“Sekarang aja barang bekas plastik kayak Aqua sekilo Rp 1500. Tadinya Rp 2.000 sekilo. Sekarang mau dapatin Rp 200.000 seminggu aja susah. Yang mulung udah tambah banyak,” ucap dia.
Titin mengaku sejak menjadi pemulung belum pernah dirinya terdata warga yang tidak mampu mendapatkan bantuan dari pemerintah baik daerah maupun pusat. Namun ia tak menampik kadang mendapat pemberian dari orang yang iba saat melihat dirinya dan putrinya melintas didepannya.
“Saya gak pernah dapat bantuan, gak kedata. Kalau dari orang lewat mah dapat aja sembako dan uang Rp 10.000-Rp 20.000,” ungkap Titin.
Meskipun demikian, Titin pun memiliki secercah mimpi untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Ia mengaku jika mendapatkan modal, ia ingin membuka usaha warung.
“Kalau ada yang ngasih bantuan modal kepengen buka warungan kopi. Kasihan anak saya,” akunya.
Hampir serupa dikatakan Jubaedah (43). Menurut warga Lingkungan Kebanyakan, Kelurahan Sukawana, Kecamatan Serang, ini menjadi pemulung barang bekas bukan pilihan hidupnya. Namun karena kondisi dan himpitan ekonomi, ia bersama suaminya terpaksa menjalani profesi sebagai pemulung.
“Saya udah dua tahun mulung, pak,” ujar Jubaedah, didampingi tetangganya yang juga pemulung Hana (24), ditemui di Jalan Abdul Fatah Hasan, Ciceri, Kota Serang.
Selama menjadi pemulung ia pun mengaku belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Ditanya soal apakah terdata dalam bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS) pun ia mengaku tidak tahu.
“Saya mau ngomong jujur. Kadang ada bantuan dari pemerintah. Kalau melalui RT suka dipilih-pilih. Kalau bukan saudaranya gak bakal dapat. Termasuk soal JPS saya gak tau. Kalau yang ngasih orang lewat mah sering. Kadang yang ngasih uang, makanan. Tapi gak tiap hari ya pak, namanya juga dapat dikasih orang. Kadang dapat kadang gak. Kalau lagi bagus mah Rp 10.000-Rp 20.000,” terang Jubaedah. (Dan/Red)