Audrey Una De Vito
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
Universitas Pamulang PSDKU Serang
SERANG – Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diharapkan menjadi tonggak penting dalam upaya perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia. Namun, implementasinya menghadapi tantangan besar, terutama karena masih kuatnya budaya patriarki yang mengakar di masyarakat.
Tantangan Implementasi UU TPKS dalam Lingkungan Patriarki
Budaya patriarki di Indonesia telah lama melanggengkan ketidakadilan gender dan diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam kasus kekerasan seksual. Dalam masyarakat patriarkal, kerap terjadi sikap permisif terhadap kekerasan seksual, bahkan sering kali korban justru disalahkan, sementara pelaku mendapat hukuman ringan atau bahkan lolos dari jerat hukum. Kondisi menyebatkan korban enggan melapor karena takut akan stigma, intimidasi atau bahkan kriminalisasi balik.
UU TPKS sendiri telah mengatur sembilan bentuk kekerasan seksual secara rinci, mulai dari pelecehan fisik dan non fisik, pemaksanaan kontrasepsi, hingga kekerasan berbasis elektronik. Namun, penerapan hukum ini belum merata dan optimal. Aparat penegak hukum masih sering terjebak dalam bias budaya patriarki, sehingga proses penegakan hukum kerap tidak berpihak pada korban.
Minimnya partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan TPKS juga menjadi tantangan utama, karena masyarakat belum sepenuhnya memahami bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam UU tersebut.
Mendorong Perubahan Budaya dan Efektivitas Hukum
UU TPKS diharapkan menjadi alat pembaharuan sosial yang mampu mendobrak nilai-nilai patriarki yang merugikan perempuan. Salah satu langkah strategis adalah mempercepat lahirnya peraturan turunan dan memperkuat sistem hukum yang berperspektif korban serta adil gender. Selain itu, pendidikan seksual yang inklusif dan berbasis hak asasi manusia sangat penting untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan korban dan pencegahan kekerasan seksual.
Perubahan buadaya patriarki memang bukan hal mudah, namun harus dimulai dari memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang berbagai bentuk kekerasan seksual dan pentingnya memberikan efek jera kepada pelaku. Pemerintah, lembaga penegak hukum dan masyarakat perlu bekerja sama dalam melakukan sosialisasi dan edukasi secara masif agar UU TPKS dapat diimplementasikan secara efektif dan korban mendapatkan keadilan yang layak.
UU TPKS juga memberikan jaminan perlindungan, akses keadilan, pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban secara lebih komprehensif. Dengan pengaturan yang lebih spesifik mengenai restitusi dan layanan pemulihan diharapkan korban tidak lagi dipinggirkan dan bisa mendapatkan hak-haknya secara penuh. UU TPKS merupakan langkah maju dalam perlindungan korban kekerasan seksual.
Namun, tanpa perubahan budaya patriarki dan penguatan implementasi di lapangan, tujuan utama undang-undang ini sulit tercapai. Sinergi antara hukum, edukasi dan perubahan sosial menjadi kunci utama agar Indonesia benar-benar bebas dari kekerasan seksual dan ketidakadilan gender.